Slider[Style1]

Status Kewarganegaraan Anak Lahir dari Perkawinan Campur

Perkawinan Campur



Perkawinan campur. Perkawinan campur bisa di definisikan sebagai perkawinan beda dalam status kewarganegaraan, beda dalam budaya/suku, dan beda dalam agama. Dalam perkawinan campur ini, setiap pasangan bisa melaksanakannya secara sah oleh hukum, maupun ketentuan yang berlaku. Tetapi, bagaimana dengan kondisi status mengenai anak dari pasangan tersebut?
Permasalahan yang pertama kita ambil adalah, perkawinan campur dalam status kewarganegaraan. Di sini tedapat pasangan pengantin, yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Contoh, status kewarganegaraan dari mempelai pria adalah warga negara asing (WNA), dan status kewarganegaraan dari mempelai wanita adalah Indonesia (WNI). Di mana, pernikahan tersebut bisa berjalan dengan sah sesuai hukum, adat, budaya, agama, atau dengan ketentuan yang berlaku. Tetapi, dengan satu syarat. Yaitu, yang mempunyai status WNA harus melaksanakan Naturalisasi. Ini sangat berpengaruh dalam menentukan status kewarganegaraan anaknya nanti. Membuktikan bahwa keturunan tersebut adalah keturunan dari pasangan WNI asli. Proses Naturalisasi di Indonesia sudah mempunyai ketentuan tersendiri yang berlaku. Jika yang berstatus WNA sudah menjalankan proses Naturalisasi, maka perkawinan campur tersebut dinyatakan sah.

Perkawinan campur dalam perbedaan agama atau kepercayaan logis. Ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, terdapat pasangan pengantin yang memiliki perberbedaan agama. Misalkan agama dari mempelai pria adalah Islam, dan agama dari mempelai wanita adalah Kristen. Perkawinan ini bisa di lakukan secara sah, dengan mengikuti ketentuan agama atau ketentuan tertentu bila diharuskan. Bisa juga salah satu dari mereka harus pindah agama, agar agama yang merka anut menjadi sama, dan proses jalannya pernikahan bisa lebih sah. Mengenai status anak dalam perkawinan ini, tentu saja WNI, dan agama yang akan dia anut, bisa diambil bedasarkan kepercayaan dirinya sendiri, atau mengikuti keturunan agama dari sang ayah atau ibunya.

Dan dalam kategori tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa perkawinan campur dalam status kewarganegaraan dan beda dalam agama, bisa melaksanakannya secara sah oleh hukum, maupun ketentuan yang berlaku. Dan mengenai status dari keturunan pasangan tersebut, bergantung dengan kondisi, dan ketentuan yang sudah di anjurkan.


Dan status hukum anak campuran di indonesia di atur dalam uu dan pasal seperti di bawah ini :


Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

IMPLIKASI PERKAWINAN CAMPURAN TERHADAP STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, dan untuk mengetahui apakah pengaturan status hukum kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah sesuai dengan prinsip kewarganegaraan Internasional. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian adalah penelitian normatif/ doktrinal yang bersifat diskriptif, jenis datanya adalah data sekunder, teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan, teknik analisis dengan metode analisa logika deduktif dengan pendekatan perbandingan dan perundang-undangan. Hasil penelitian ini yaitu bahwa UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 telah menghapus semua aturan kewarganegaraan yang diskriminatif seperti yang terdapat dalam UU No. 62 Tahun 1958. Selain memperlakukan warga keturunan sama seperti warga bangsa Indonesia lainnya, UU No. 12 Tahun 2006 juga melakukan terobosan penting yakni dengan memberi kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak dari hasil perkawinan campuran antara WNI dengan WNA sebelum anak tersebut berusia 18 tahun dan belum kawin. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak.
Intinya di indonesia hal tersebut di atas di akui sah secara hukum.

Related Posts:

0 komentar: